Stop Normalisasi! Kebiasaan Sepele Orang Tua yang Bisa Membuka Celah Pelecehan Anak

Ilustrasi gender anak
Sumber :
  • freepik.com

Parenting – Setiap orang tua tentu ingin anaknya aman, jauh dari kekerasan atau pelecehan seksual. Namun tanpa sadar, kebiasaan sepele yang dianggap “biasa saja” justru dapat membuka pintu bagi predator, bahkan menanamkan kebingungan pada anak mengenai batas tubuhnya.

Menurut psikolog anak, orang tua sering keliru memahami pendidikan seks. Akibatnya, mereka mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya berperan besar dalam membentuk kesadaran anak akan privasi tubuhnya.

Artikel ini membahas kebiasaan yang kerap “dinormalisasi” orang tua, padahal bisa jadi bibit pelecehan, serta pentingnya pendidikan seks sejak dini dan keterlibatan Moms and Dads secara seimbang.

Kebiasaan yang Sering Dinormalisasi tapi Berbahaya

Beberapa contoh nyata di sekitar kita:

1. "Biarin aja anak kecil lari-lari pakai kutang doang…”

Orang tua merasa anak belum paham, padahal kebiasaan ini menanamkan konsep bahwa tubuhnya boleh dilihat siapa saja. Anak jadi tidak terbiasa menjaga privasinya.

2. “Gak apa-apa mandi bareng kakak-adik, kan saudara kandung…”

Meski satu keluarga, anak tetap perlu belajar batas tubuh. Psikolog menegaskan mandi bersama anak beda jenis kelamin berisiko mengaburkan batas privasi tubuh mereka.

3. “Eh minta cium dulu dong sama Om…”

Memaksa anak berinteraksi fisik demi hadiah mengajarkan bahwa kasih sayang bisa ditukar dengan materi. Ini berbahaya karena anak terbiasa menoleransi sentuhan tanpa persetujuan.

4. Bercanda dengan alat kelamin anak, menyingkap rok, atau perosotin celana.

Candaan seperti ini mengajarkan bahwa tubuh anak adalah bahan lelucon. Anak jadi bingung mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain.

Psikolog anak menyebut kebiasaan-kebiasaan ini sebagai “normalisasi pelecehan ringan” yang memperlemah pertahanan anak terhadap predator.

Pendidikan Seksual Harus Dimulai Sejak Dini

Banyak orang tua menganggap pendidikan seksual hanya tentang hubungan suami-istri, sehingga “nanti saja” memberikannya. Padahal, menurut dr. Aulia Rahman, pendidikan seksual dimulai sejak bayi bahkan sejak dalam kandungan melalui cara kita merawat dan menghargai tubuh anak.

Contoh pendidikan seks usia dini:

1. Mengajarkan nama anggota tubuh dengan benar, termasuk organ intim.

2. Menjelaskan area pribadi (private parts) yang tidak boleh disentuh orang lain selain untuk kebersihan/medis dengan pengawasan orang tua.

3. Mengajarkan anak untuk berkata “tidak” ketika merasa tidak nyaman.

4. Mengajarkan konsep persetujuan (consent) sedini mungkin, termasuk soal pelukan atau ciuman.

Sering kali pendidikan seks dibebankan kepada ibu, padahal ayah juga memegang peran vital. Anak laki-laki belajar menghormati perempuan dari figur ayah, sedangkan anak perempuan belajar bagaimana ia pantas diperlakukan dari sikap ayah. Psikolog menyarankan:

  • Ayah ikut mengedukasi anak tentang batas tubuh.
  • Ayah menunjukkan contoh perilaku menghargai pasangan di rumah.
  • Ayah hadir dalam pengasuhan sehari-hari agar anak merasa aman.

Langkah Praktis agar Anak Terlindungi

1. Bangun komunikasi terbuka sejak dini, tanpa menghakimi.

2. Gunakan bahasa sesuai usia agar anak paham tentang tubuhnya.

3. Ajarkan anak mengenali sentuhan baik dan buruk.

4. Hormati privasi anak (misalnya mengetuk pintu sebelum masuk kamar, menghargai tubuhnya saat ganti pakaian).

5. Berikan contoh nyata tentang batas tubuh melalui perilaku orang tua sehari-hari.

Melindungi anak dari pelecehan bukan sekadar mengawasi mereka di luar rumah, tetapi juga mengoreksi pola pikir dan kebiasaan di dalam rumah. Normalisasi perilaku “sepele” bisa menjadi celah besar bagi predator. Pendidikan seks sejak dini dengan bahasa sesuai usia anakadalah investasi penting untuk masa depan mereka.

Moms and Dads punya peran setara dalam membentuk kesadaran tubuh, batas, dan rasa aman anak. Anak yang mendapat pendidikan seks sehat dan konsisten akan lebih berani melindungi dirinya dan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri.