Bekali Anak Melawan Pertemanan Toxic: Panduan Lengkap untuk Moms & Dads
- freepik.com
Parenting – Dalam proses tumbuh kembang anak, teman memiliki peranan penting sebagai tempat belajar bersosialisasi. Namun tidak semua pertemanan itu sehat. Ada anak yang sering diminta bekalnya, kesulitan berkata “tidak”, atau terjebak dalam hubungan pertemanan yang mengontrol.
Situasi ini bila dibiarkan dapat mengikis rasa percaya diri anak, membuatnya sulit bersikap tegas, dan mempengaruhi kesehatan mentalnya. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendampingi anak belajar membedakan pertemanan yang sehat dan yang toxic.
Menurut psikolog anak yang dikutip dari American Psychological Association “Building Resilience in Children", anak perlu dibekali keterampilan sosial seperti berani berkata tidak, mengenali hak diri, dan mampu mengungkapkan pendapat. Keterampilan ini bukan bawaan lahir, melainkan harus dilatih sejak dini melalui contoh, komunikasi, dan edukasi dari orang tua.
Mengapa Anak Perlu Diajari Mengenali Pertemanan Toxic
Banyak orang tua menganggap konflik kecil antar teman adalah hal wajar. Padahal, kebiasaan anak sering disuruh-suruh, ditekan, dimintai bekal terus-menerus, atau dibully dapat menjadi tanda anak berada di pertemanan toxic. Jika dibiarkan, anak bisa kehilangan konsep diri, merasa rendah diri, hingga kesulitan membangun relasi sehat saat dewasa.
Karena itu, orang tua perlu berdiskusi dan mengedukasi anak tentang:
- Mana perilaku teman yang wajar dan tidak wajar
- Tanda-tanda pertemanan toxic
- Cara menghadapi situasi tidak sehat dengan tepat
Delapan Langkah Mengajari Anak Menghindari Pertemanan Toxic
1. Ajari Anak Berani Menolak
Jelaskan pada anak bahwa menolong sesekali itu baik, namun jika permintaan teman berulang dan merugikan anak, mereka berhak berkata “tidak”. Latih anak menggunakan kalimat sederhana seperti “Maaf, aku tidak bisa” atau “Aku mau makan bekalku sendiri dulu.”
2. Kamu Berhak Memilih Teman yang Lain
Tanamkan bahwa pertemanan seharusnya saling mendukung, bukan hanya satu pihak yang diuntungkan. Jika anak merasa dimanfaatkan, beri mereka keberanian untuk menjauh dan mencari teman yang lebih sehat.
3. Berteman Tidak Boleh Memaksa
Ajarkan anak prinsip bahwa teman tidak boleh memaksa atau menuntut sesuatu yang di luar kemampuannya. Orang tua bisa memberikan contoh, “Kalau kamu merasa tidak nyaman, kamu boleh menolak.”
4. Jangan Menyanggupi Tantangan Aneh
Beritahu anak untuk berhati-hati pada “tantangan” dari teman. Tidak semua tantangan itu seru atau positif. Ajari anak mengatakan tidak pada tantangan yang melanggar prinsip, seperti tindakan berbahaya atau yang membuatnya tidak nyaman.
5. Tolong-Menolong Hanya untuk Kebaikan
Tekankan bahwa menolong teman itu baik bila tujuannya positif. Tetapi bila diminta membantu hal yang salah, seperti menyontek atau mengerjakan tugas teman, anak harus berani menolak.
6. Jangan Mau Dikontrol
Jelaskan pada anak bahwa ancaman “kalau kamu tidak nurut nanti aku tidak temani” bukanlah perilaku teman yang sehat. Latih anak untuk berani berkata, “Kalau kamu tidak mau berteman lagi, tidak apa-apa.”
7. Berbagi Itu Ada Konteksnya
Berbagi bekal sesekali boleh, namun jika menjadi kebiasaan yang memberatkan anak, itu tidak sehat. Orang tua perlu menegaskan bahwa bekal yang dibawa adalah hak anak, bukan untuk dihabiskan orang lain.
8. Kamu Boleh Berbeda Pendapat dengan Teman
Ajarkan anak bahwa berbeda pendapat adalah hal normal. Dorong anak untuk berani mengungkapkan pendapatnya tanpa takut ditolak.
Peran Orang Tua dalam Membentuk Keterampilan Ini.
Semua cara di atas akan efektif jika dimulai dari rumah. Anak belajar dari pola asuh dan contoh orang tua.
- Berikan Kesempatan Memilih: Biarkan anak membuat pilihan kecil sehari-hari agar terbiasa menentukan sikap.
- Belajar Mendengarkan Anak: Dengan mendengar pendapat anak, orang tua memberi contoh bahwa suara anak penting.
- Ajarkan Konsep Kepemilikan: Bantu anak memahami batasan berbagi, sehingga tidak merasa bersalah saat berkata tidak.
Psikolog anak menekankan bahwa interaksi orang tua adalah benchmark anak dalam berinteraksi dengan dunia luar. Jika orang tua mengajarkan batasan yang sehat, anak akan lebih siap menghadapi pertemanan yang toxic di sekolah atau lingkungan sekitar.