Jangan Bungkam Emosi Anak Laki-Laki, Bisa Jadi Suami Dingin Saat Dewasa
- freepik.com
Parenting – Moms and Dads, sering kali kita lupa bahwa anak laki-laki juga manusia biasa seperti punya rasa, punya air mata, punya kebutuhan untuk dimengerti. Namun, sejak kecil banyak dari mereka dididik untuk diam, menahan tangis, dan pura-pura kuat. Apalagi ditambah ada lagu The Cure "Boys Don't Cry" semakin tidak boleh anak laki-laki untuk menangis. Alih-alih belajar mengenali emosinya, mereka justru terbiasa menekannya.
Saat dewasa, kebiasaan ini bisa menjelma menjadi sikap dingin. Bukan karena tidak sayang, tetapi karena sejak kecil mereka tidak pernah diajarkan cara mengungkapkan kasih sayang dengan hangat. Inilah mengapa banyak calon suami terlihat kaku, sulit terbuka, bahkan bingung membedakan antara marah, sedih, atau kecewa.
Mengapa Anak Laki-Laki Sering “Dibungkam”?
Sejak dulu, ada budaya yang melekat yakni anak laki-laki harus kuat, tidak boleh menangis, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Kalimat seperti “Laki-laki jangan cengeng” atau “Cowok harus tahan banting” terdengar begitu sering. Akibatnya, anak laki-laki tumbuh dengan keyakinan bahwa menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan.
Padahal menurut Bunda Elly Risman, pakar psikologi keluarga, “Anak laki-laki juga perlu divalidasi perasaannya. Kalau sejak kecil dia dibungkam, dia akan bingung mengekspresikan diri ketika dewasa.”
Dampak Saat Dewasa Menjadi Suami yang Dingin
Ketika anak laki-laki terbiasa menekan emosi, saat dewasa mereka:
- Sulit mengungkapkan perasaan kepada pasangan.
- Cenderung diam ketika ada konflik, bukan karena tidak peduli, tetapi bingung harus berkata apa.
- Kurang responsif secara emosional, sehingga pasangan bisa merasa tidak dicintai.
- Membawa luka batin lama, yang tidak pernah terselesaikan sejak kecil.
Inilah sebabnya, suami yang tampak dingin bukan selalu tanda ia tidak sayang. Bisa jadi, sejak kecil ia tidak pernah diajarkan cara mencintai dengan hangat.
Bagaimana Cara Orang Tua Membantu?
Agar anak laki-laki tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara emosional, orang tua perlu memberikan ruang aman sejak dini. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Validasi perasaannya. Jangan abaikan tangis atau marahnya. Katakan, “Ayah tahu kamu sedih,” atau “Ibu mengerti kamu marah.”
- Ajarkan bahasa emosi. Kenalkan kosakata perasaan seperti senang, kecewa, cemas, bangga, takut, supaya dia bisa menamai emosinya.
- Contohkan cara sehat mengekspresikan rasa. Tunjukkan bahwa menangis bukan aib, dan berbicara tentang perasaan adalah hal yang wajar.
Seperti yang dikatakan Bunda Elly Risman, “Laki-laki sejati bukan yang tidak pernah menangis, tetapi yang tahu kapan harus kuat, dan kapan harus jujur pada hatinya.”
Ingat, Anak Laki-Laki adalah Calon Pemimpin
Anak laki-laki hari ini adalah calon suami, calon ayah, sekaligus calon pemimpin esok hari. Jika sejak kecil ia tidak diajarkan mengenali emosinya, maka sulit baginya menjadi pendamping hidup yang hangat, apalagi menjadi ayah yang penuh kasih. Didiklah mereka bukan dengan membungkam, melainkan dengan kasih yang menguatkan.
Moms and Dads, mari kita hentikan kebiasaan membungkam emosi anak laki-laki. Ajari mereka bahwa menangis bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari kejujuran hati. Dengan begitu, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tetapi tetap hangat.
Anak laki-laki yang kita besarkan hari ini bukan hanya anak kita. Ia adalah calon suami bagi seseorang, calon ayah bagi anak-anaknya, dan calon pemimpin yang akan membawa nilai-nilai yang kita tanamkan. Mari orang tua besarkan mereka dengan kasih sayang yang memberi ruang, bukan dengan aturan yang membungkam.