Moms Wajib Tahu! Ini Tanda Anak Kecanduan Junk Food dan 8 Jurus Ampuh Menghentikannya

Ilustrasi Junk Food
Sumber :
  • Pixabay

Parenting – Mengenali tanda-tanda peringatan kecanduan makanan cepat saji sejak dini adalah langkah pertama untuk membantu anak Anda menjalani pola makan yang lebih sehat dan seimbang.

Suka Minum Teh? Hati-Hati, Cara Salah Bisa Ganggu Pencernaan

Di dunia yang serba cepat saat ini, makanan cepat saji lebih mudah diakses dan menarik daripada sebelumnya, yang telah menyebabkan peningkatan upaya untuk mengurangi promosi makanan dan minuman yang tidak sehat.

 

6 Tips Memilih Tempat Les Renang Anak: Aman, Nyaman, dan Bikin Si Kecil Semangat Belajar

Meskipun sesekali camilan merupakan bagian dari kehidupan yang seimbang, anak-anak terkadang dapat menunjukkan tanda-tanda halus dari hubungan yang lebih dalam dan lebih bermasalah dengan makanan yang tidak sehat.

 

Les Berenang untuk Anak: Bukan Sekadar Main Air, Tapi Bekal Hidup Sehat dan Aman!

Mengenali tanda-tanda peringatan sejak dini adalah langkah pertama untuk membantu anak Anda membangun pola makan yang lebih sehat dan seimbang. Berikut beberapa tanda bahaya yang mungkin mengindikasikan kecanduan makanan cepat saji dan beberapa saran ahli tentang apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu.

 

“Salah satu tanda utamanya adalah keinginan yang kuat melebihi rasa lapar,” kata Dr. Manpreet Dhuffar-Pottiwal, seorang psikolog berlisensi dan spesialis kecanduan perilaku yang berbasis di Inggris sepeti dikutip laman Southn China Morning Post.

 

“Jadi, anak terpaku pada makanan tertentu – seperti keripik atau permen – dan menjadi tertekan jika tidak diberi akses. Ini adalah ketidakmampuan untuk berhenti makan makanan cepat saji bahkan ketika sudah kenyang, seringkali secara diam-diam atau melewati titik ketidaknyamanan.”

 

Dr. Manpreet Dhuffar-Pottiwal adalah seorang psikolog berlisensi dan spesialis kecanduan perilaku yang berbasis di Inggris ini juga mengatakan, rasa mudah tersinggung, perubahan suasana hati, atau sakit kepala ketika makanan cepat saji tidak tersedia adalah tanda bahaya lain yang perlu diwaspadai.

 

"Penolakan terus-menerus terhadap makanan seimbang atau makanan utuh yang sebelumnya dinikmati juga bisa menjadi tanda," kata Dhuffar-Pottiwal. "Waspadai penghindaran aktivitas sosial, penurunan prestasi sekolah, atau rasa bersalah/malu tentang kebiasaan makan."

 

Ketika anak-anak atau orang dewasa mengonsumsi makanan cepat saji, kadar gula, lemak, dan garam yang tinggi merangsang pelepasan dopamin di otak – sebuah neurotransmiter yang berkaitan dengan kesenangan dan penghargaan, kata Dr. Adarsh ​​Dharendra, konsultan psikiater di Rumah Sakit Priory's Life Works dan Rumah Sakit Priory Woking di Inggris.

 

"Lonjakan ini menciptakan rasa puas sementara, memperkuat gagasan bahwa makanan adalah 'faktor rasa senang'," kata Dharendra.

 

"Seiring waktu, otak mulai menginginkan lebih banyak makanan ini untuk mencapai rasa senang yang sama, yang menjadi dasar bagi pola makan kompulsif. Makanan olahan seperti keripik, cokelat, sereal manis, dan makanan cepat saji sangat bermasalah. Makanan-makanan ini menggabungkan karbohidrat olahan, lemak, dan zat aditif buatan, yang mengganggu sinyal kenyang." 

 

Jika dibiarkan, kata Dharendra, "kebiasaan-kebiasaan ini dapat berkembang menjadi gangguan makan berlebihan, mengganggu kehidupan sehari-hari, dan berkontribusi pada rendahnya harga diri, terutama dalam konteks penambahan berat badan. Individu dapat mengalami iritabilitas, perubahan suasana hati, dan kehilangan kendali atas makanan."

 

Ngidam atau menginginkan makanan tertentu itu normal, kata Dhuffar-Pottiwal, menambahkan bahwa konteks menentukan apakah mungkin ada masalah.

 

"Tanda-tanda bahaya utama meliputi frekuensi/intensitas seperti tekanan harian karena mengakses makanan cepat saji dan gangguan fungsional seperti melewatkan aktivitas atau berbohong untuk mendapatkan camilan. Menggunakan makanan untuk menenangkan diri saat stres juga bisa menjadi tanda bahaya."

 

Berikut beberapa kiat dari Dhuffar-Pottiwal tentang cara membantu anak mengatasi obsesi terhadap makanan cepat saji dan membuat pilihan yang lebih sehat.

 

1. Teladankan perilaku seimbang

 

“Secara lintas generasi, kebiasaan makan orang tua dan asosiasi emosional dengan makanan – seperti menggunakan camilan sebagai hadiah – dapat menormalkan perilaku disfungsional,” kata Dhuffar-Pottiwal. “Anak-anak meniru pengasuh, jadi hindari melabeli makanan sebagai baik atau buruk.”

 

2. Ciptakan struktur

 

“Tawarkan makanan seimbang yang teratur untuk mencegah hiperaktifitas ekstrem,” sarannya.

 

3. Libatkan anak

 

"Berkolaborasilah dalam perencanaan makan atau memasak untuk membangun kemandirian dan rasa ingin tahu," ujarnya.

 

4. Lakukan perubahan bertahap

 

"Ganti camilan ultra-olahan dengan alternatif yang minim olahan. Misalnya, tawarkan buah dengan selai kacang sebagai pengganti permen."

 

5. Penuhi kebutuhan emosional

 

"Ajarkan strategi menenangkan diri bukan dengan makanan, seperti mindfulness, meditasi bersama keluarga, atau bermain kreatif."

 

6. Sesuaikan lingkungan

 

"Batasi ketersediaan junk food di rumah – misalnya, jauhkan camilan manis dari jangkauan anak – daripada melarangnya secara langsung, yang justru dapat menjadi bumerang."

 

7. Bersikap welas asih

 

"Welas asih adalah kunci bagi orang tua dan anak. Bingkai setiap perubahan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan, bukan hukuman. Pola antargenerasi membutuhkan waktu untuk dilupakan dan langkah-langkah kecil yang konsisten menghasilkan kemajuan yang berkelanjutan."

 

8. Cari bantuan

 

Duffar-Pottiwal menyarankan untuk berkonsultasi dengan dokter umum atau dokter anak jika terdapat tanda-tanda kesehatan fisik seperti berat badan dan gula darah yang mengkhawatirkan, jika perilaku tersebut menetap meskipun telah dilakukan intervensi di rumah, dan/atau jika muncul masalah lain seperti menarik diri dari pergaulan, kesulitan di sekolah, atau depresi. “Pendekatan multidisiplin yang melibatkan ahli gizi, psikolog, dan terapi keluarga seringkali paling efektif,” ujarnya.