Waspada! Tanpa Sadar Kita Bisa Jadi Orang Tua yang "Sombong" pada Anak

Ilustrasi anak dan ayah marah
Sumber :
  • Freepik.com

Parenting – Sebagai orangtua, kita tentu ingin menjadi sosok terbaik bagi anak-anak kita. Namun tanpa disadari, dalam keseharian justru kita bisa bersikap "sombong" kepada anak. Bukan dalam bentuk kesombongan seperti pamer harta atau jabatan, melainkan sombong secara emosional dan psikologis: merasa lebih benar, lebih tau, lebih penting, lebih pantas dihormati hingga tanpa sadar menekan fitrah dan jati diri anak.

Bukan Sekadar Nafkah: Bagaimana Ayah Menjadi Teladan Emosi Bagi Anak

Dihimpun VIVA Parenting dari berbagai sumber, berikut ini  beberapa bentuk sikap “sombong” yang sering terjadi dalam pola pengasuhan, beserta penjelasan dan dampaknya terhadap anak usia dini.

1. Merasa Paling Benar

“Udah dibilang Mama yang benar, kamu jangan ngeyel!”

Mengenal Lebih Dalam, Ego Anak yang Harus Dibangun Seorang Ayah

Kalimat semacam ini mungkin terdengar wajar bagi banyak orangtua, tapi bisa berdampak besar bagi anak. Ketika orangtua selalu merasa paling benar, anak perlahan akan kehilangan kepercayaan diri untuk menyuarakan pikiran dan belajar menekan ekspresinya.

Dampaknya, anak menjadi ragu terhadap ide dan opininya sendiri. Menurunnya kemampuan berpikir kritis dan anak tumbuh menjadi pribadi penurut secara pasif, bukan karena paham, tapi karena takut salah. Padahal, fitrah anak adalah menjadi individu yang percaya diri, penasaran, dan berpikir kritis. Maka, sesekali mendengarkan dan mengakui logika anak, meski belum sepenuhnya matang, adalah pupuk bagi pertumbuhan nalar mereka.

2. Meremehkan Perasaan Anak

Anak Kurang Kasih Sayang, saat Dewasa Jadi Suka Cari Perhatian (Caper), ko Bisa?

“Ah, cuma mainan rusak aja kok nangis kayak gitu.”

“Gitu doang, masa udah takut sih?”

Komentar seperti ini sering kita lontarkan dengan maksud menguatkan anak, tapi sayangnya justru mengajarkan bahwa perasaan mereka tidak penting. Ketika kita meremehkan emosi anak, mereka belajar untuk menutupinya dan merasa malu menunjukkan apa yang mereka rasakan.

Dampaknya, anak kesulitan mengenali dan mengelola emosinya. Empati anak tidak berkembang dengan optimal dan potensi tumbuh menjadi pribadi yang terputus dari perasaan.

Padahal, pada anak usia dini memiliki fitrah untuk mengalami dan mengekspresikan emosi secara penuh. Saat kita mengakui dan memvalidasi emosi mereka, kita sedang membantu anak membangun fondasi empati, regulasi diri, dan koneksi sosial yang kuat.

3. Tidak Mau Meminta Maaf

“Orang tua nggak perlu minta maaf ke anak, nanti dianggap lemah.”

Anggapan ini masih banyak diyakini, padahal menolak meminta maaf atas kesalahan justru membuat anak salah memahami makna tanggung jawab dan keberanian. Mereka bisa berpikir bahwa meminta maaf adalah bentuk kelemahan, bukan kejujuran dan kebesaran hati.

Dampaknya, anak tidak belajar menyelesaikan konflik secara sehat, muncul rasa tidak adil atau sakit hati yang tertahan serta anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan.

Padahal, anak terlahir dengan fitrah individualitas yang perlu diakui, ia adalah pribadi yang juga pantas dihormati. Ketika orangtua berani minta maaf, anak belajar tentang kerendahan hati, keberanian, dan nilai sosialitas yang kuat.

4. Memaksakan Kehendak Tanpa Pertimbangan Anak

“Pokoknya kamu ikut les piano, udah Mama daftarin!”

“Kata Ayah harus sekolah di sana, nggak usah banyak tanya!”

Orang tua sering merasa tahu yang terbaik bagi anak, tapi jika dilakukan tanpa pertimbangan dan komunikasi, ini akan membuat anak kehilangan rasa memiliki terhadap keputusan hidupnya. Memaksakan kehendak berarti kita merampas ruang anak untuk belajar menentukan pilihan dan berdiri atas haknya.

Dampaknya, anak merasa hidupnya dikendalikan orang lain, menurunnya rasa percaya diri dan tanggung jawab pribadi, selin itu anak menjadi pribadi yang sulit mengambil keputusan saat dewasa karena tidak terbiasa dilibatkan.

Padahal, fitrah anak adalah mempertahankan hak dan pilihannya, terutama di usia dini. Bila diarahkan dengan bijak, kemampuan ini akan menjadi modal penting dalam membela diri, menjaga integritas, dan mandiri secara emosional di masa depan.

Menjadi orang tua bukan soal siapa yang lebih tahu atau lebih berkuasa, tapi soal siapa yang lebih dulu belajar dan lebih dulu mencintai. Anak bukan milik kita, tapi titipan yang harus kita hormati fitrahnya. Rendah hati adalah kunci pengasuhan yang berkualitas

Ketika kita mau mendengar, mengakui, dan meminta maaf, kita sedang menunjukkan pada anak bahwa rendah hati adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Mari refleksi bersama, apakah dalam interaksi kita hari ini, ada sisi “sombong” yang tak kita sadari?