Si Kecil Dilarang Malah Dilakukan? Ini Cara Efektif Mengatasinya
- freepik.com
Parenting – Pernahkah Moms merasa si kecil jika semakin dilarang justru semakin bersemangat melakukan hal tersebut? Misalnya, saat moms berkata, “Jangan main air di kamar mandi”, si kecil malah semakin asyik bermain air. Fenomena ini bukan sekadar “manja” atau “bandel”, melainkan reaksi yang muncul secara alami dalam perkembangan anak. Artikel ini mengeksplorasi mengapa hal tersebut terjadi dan bagaimana sebaiknya orang tua meresponsnya berdasarkan pandangan psikolog anak dan teori perkembangan.
1. Fenomena Psikologis: Reactance
Menurut teori psychological reactance, ketika kebebasan anak dibatasi misalnya lewat larangan yang keras, mereka justru terdorong kuat untuk merebut kembali kebebasan itu. Fenomena ini membuat larangan mendorong perilaku yang dilarang menjadi semakin menarik bagi anak.
2. Tahap Perkembangan: Oposisi alami
Psikolog anak Dr. Laura Markham menyebut fase ini sebagai “natural opposition” pada usia 2–8 tahun. Pada masa ini, anak ingin menegaskan identitas diri dan kapasitas memilih. Jika mereka sering diberi larangan tanpa penjelasan, mereka cenderung merasa dibatasi dan merespons dengan perilaku menentang.
3. Larangan Merusak Eksplorasi dan Kreativitas
Sering menggunakan kata “jangan” dapat menghambat inisiatif dan kreativitas anak. Psikolog Laura Markham menegaskan bahwa terlalu banyak larangan justru bisa membuat anak pasif dan kehilangan rasa percaya diri untuk mencoba hal baru. Hal serupa dikutip dari guesehat.com bahwa larangan berlebihan bisa menghambat penemuan diri dan kreativitas anak.
4. Rasa Otonomi vs. Larangan Tanpa Penjelasan
Dilansir dari halodoc.com menjelaskan bahwa anak usia 2–6 tahun tengah menghadapi konflik antara keinginan untuk otonomi dan larangan eksternal. Larangan tanpa penjelasan membuat mereka bingung dan mengganggu perkembangan identitas serta keyakinan diri.
Sebagai gantinya, Moms and Dads bisa mencoba strategi yang lebih positif dan bersahabat:
1. Alihkan ke Aktivitas Positif
Daripada berkata “Jangan lompat di sofa”, orang tua bisa mengajak anak dengan kalimat alternatif seperti, “Yuk, kita lompat di halaman biar lebih aman.” Alih-alih sekadar melarang, orang tua memberikan solusi yang tetap memenuhi kebutuhan anak untuk berekspresi.
2. Gunakan Bahasa Positif
Bahasa yang digunakan orang tua sangat memengaruhi cara anak merespons. Misalnya, mengganti kalimat “Jangan lari!” dengan “Ayo jalan pelan-pelan biar nggak jatuh.” Bahasa positif membantu anak memahami apa yang sebaiknya dilakukan, bukan hanya apa yang tidak boleh.
3. Berikan Alasan yang Memahami
Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ketika diberi alasan yang jelas, mereka lebih mudah menerima aturan. Contoh: “Kalau kamu main HP terus, matanya bisa lelah. Yuk, istirahat dulu biar matanya sehat.” Dengan begitu, anak belajar memahami konsekuensi.
4. Validasi Perasaan Anak
Mengakui perasaan anak sangat penting agar mereka merasa dihargai. Misalnya, “Mama tahu kamu sedih nggak dapat permen, tapi kita simpan untuk nanti ya biar gigi tetap sehat.” Validasi ini membuat anak lebih terbuka untuk diarahkan.
5. Berikan Pilihan Terarah
Anak akan lebih kooperatif jika diberi pilihan sederhana. Misalnya, “Mau sikat gigi dulu atau ganti piyama dulu?” Cara ini memberi anak rasa kontrol sambil tetap berada dalam koridor aturan yang orang tua tetapkan.
6. Konsisten & Jadi Teladan
Konsistensi adalah kunci dalam membangun kepatuhan. Anak belajar dari teladan orang tua. Ketika orang tua tenang, logis, dan konsisten dalam aturan sehari-hari, anak akan menirunya. Sikap ini menumbuhkan rasa aman sekaligus kepercayaan pada orang tua.
Membesarkan anak memang penuh tantangan, terutama ketika mereka tampak “melawan” setiap larangan. Namun, dengan komunikasi positif, orang tua bisa mengubah situasi tersebut menjadi momen belajar yang hangat dan bermakna. Alihkan energi anak ke hal positif, gunakan bahasa yang membangun, berikan alasan, validasi perasaan, dan tawarkan pilihan. Ditambah dengan konsistensi dan keteladanan, anak tidak hanya belajar patuh, tetapi juga tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, mandiri, dan mampu menghargai aturan dengan pemahaman yang sehat.